Detikinvestigasi.com.Jakarta.
Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn.
Lembaga hukum Mahkamah Konstitusi tercabik-cabik oleh putusan MK yang diputuskan oleh Anwar Usman tentang usia capres dan cawapres. Hal ini terus menerus menjadi perbincang publik yang sangat memalukan wajah MK di mata dunia.
Hal seperti yang terjadi saat ini tidak pernah terjadi di belahan dunia manapun. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 layak dibatalkan, sekalipun berseliweran pendapat para Ahli Hukum Tata Negara mengatakan putusan MK final dan mengikat tidak ada upaya Hukum lain dan harus dilaksanakan.
Khusus terkait putusan MK tentang usia capres dan cawapres ini cacat hukum, putusan ini diputus oleh paman Gibran selalu ketua MK, dan berdasarkan putusan tersebut Gibran maju jadi cawapresnya Koalisi Indonesia Maju, hal tersebut tentunya ada konflik kepentingan antara paman dan ponakan.
Seharusnya dalam perdebatan yang masih ramai di publik dan hingga saat ini belum ada kepastian hukum yang jelas tentang putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, selain cacat hukum, putusan tersebut ada norma baru di pasal 169 huruf q UU Pemilu, hal itu menjadi kewenangan DPR, seharusnya KPU belum dapat menerima putusan tersebut dalam pendaftaran capres dan cawapres tingkat pertama.
Apa lagi saat ini sedang dijalankan banyak gugatan ke MKMK yang di pimpin oleh Prof Jimly Asidiqqi selaku pakar Hukum Tata Negara, yang menurut beliau banyak ditemukan kejanggalan, bahkan ditemukan pada CCTV di gedung MK yang mana Anwar Usman ikut dalam sidang tertutup tentang 3 gugatan pada perkara yang sama dan diputuskan ditolak, karena bukan wewenang MK melainkan open policy publik, tetapi kenapa putusan Nomr 90/PUU-XXI/2023 diterima sebagian, jelas dan terang hal ini mencoreng wajah MK.
MKMK harus berpihak kepada Demokrasi dan Konstitusi yang benar untuk memulihkan wajah lembaga MK yang telah rusak akibat perbuatan beberapa oknum hakim MK.
Bahkan menurut pendapat Prof Jimmly, dengan kejadian MK saat ini, Indonesia seperti menganut politik kerajaan.
Sebenarnya berbeda antara politik kerajaan yang disebut Prof Jimmly dengan keadaan saat ini. Yang terjadi saat ini adalah politik dinasti yang dibangun oleh oknum, padahal kita hingga saat ini masih teguh menganut sistem Demokrasi Pancasila yang sesuai dengan seluruh isi yang sesuai dengan butir-butir Pancasila, dan hal itu final mengikat untuk kepentingan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Berbeda antara politik kerajaan dan politik dinasti
Indonesia sampai sekarang masih menganut sistem Demokrasi Pancasila, dalam artian Demokrasi yang sesuai butir-butir Pancasila dan itu sudah final untuk kepentingan bangsa dan negara RI.
Kerajaan di Indonesia dalam berpolitk selalu santun dan mengedepankan nilai-nilai budaya.
Kalau politik dinasti yang dimaksud sekarang ini adalah orang yang bukan trah / keturunan raja tetapi sangat bernafsu / birahi utk memegang kekuasaan. Mungkin itu karena ambisinya yang selalu ingin menjadi penguasa atau berkeinginan untuk mengamankan aset yang diperoleh selama dia menjadi penguasa.
Politik feodalpun juga bukan, penguasa / rezim yg menjalankan politik feodal itu hanya oknum.
(Jgd/Red)